“Enak lho, Win...” Rasti mengunyah kue nastar pemberian Winda.
“Itu Cuma contoh lho Ras,” Winda tersenyum kecil. “Besok sudah tidak bisa makan gratis, harus beli.”
Rasti manggut-manggut. “Harganya sama dengan kaastengel?”
“Iya, satu bungkus isi tiga, tetap Rp. 2000,00,” Winda membuka kotak bekalnya yang besar, yang sekaligus digunakannya untuk menyimpan kue-kue jualannya.
Rasti menggigit kue nastarnya sedikit-sedikit. Sudah sebulan ini sahabatnya itu ‘buka warung kaget’ di kelas. Winda menjual kue-kue kering buatannya yang sudah dibungkus plastik. Cantik-cantik. Dulu, sewaktu baru memulai usahanya itu, Winda membawa contoh terlebih dahulu. Lalu ditawarkan ke teman-teman sekelasnya sambil berpromosi.
Pertama, Winda hanya menawarkan kaastengel dan kue semprit cokelat. Sekarang dagangan Winda sudah ada lima macam ; kaastengel, kue semprit cokelat, putri salju, kue kenari, dan kue terbarunya adalah nastar.
Rasti suka buatan Winda. Enak, murah lagi. Teman-temannya juga begitu. Setiap waktu istirahat, dagangan Winda laris manis. Dibandingkan jajan di kantin sekolah, kue Winda lebih sehat dan bermutu. Paling tidak, kue Winda tidak menggunakan bahan pengawet dan penguat rasa, sehingga lebih sehat.
“Hari ini laku banyak, Win ?” Rasti penasaran melihat kotak dagangan Winda. Sekarang langganan kue Winda bukan hanya dari kelas 6C saja. Murid kelas lain, bahkan guru-guru pun sering membeli kue Winda.
“Hari ini sudah terjual 20 bungkus,” Winda tersenyum cerah.” Bisnis kueku akhir-akhir ini berkembang pesat.”
Rasti tertawa dan menjajari langkah Winda keluar kelas. Mereka biasa pulang berdua, karena rumah mereka berada di kompleks yang sama di dekat sekolah.
“Bahasa bisnis, nih yee...” Rasti menggoda. “Sekalian praktek pelajaran Bahasa Indonesia, kan...” Rasti manggut-manggut.
“Win, aku boleh tanya sesuatu, ya. Tapi kamu janji jangan marah, ya...”
“Tanya saja Ras, aku tidak akan marah. Masa sama pelangganku yang paling setia, marah. Bisa tidak laku daganganku nanti....” Winda tersenyum nakal.
Rasti tersenyum malu.
“Apa kamu tidak malu jualan kue di sekolah, Win? Atau uang sakumu kurang, makanya kamu jualan kue ?”
“Uang sakuku cukup, kok, Ras,” Winda menggeleng, sambil menata plastik-plastik kue di kotak dagangannya. “Dan aku juga tidak malu berjualan kue. Aku pikir, ada baiknya aku coba-coba usaha dan belajar mencari uang dari sekarang. Lagipula, hasilnya lumayan untuk menambah tabunganku.”
“Belajar cari uang sendiri ?” Rasti keheranan. “Memangnya kamu bercita-cita jadi penjual kue ? kenapa tidak bercita-cita yang keren, Win, misalnya jadi dokter...”
Winda tertawa. “Sebenarnya aku bercita-cita jadi dokter hewan. Tapi ini sekadar jaga-jaga, siapa tahu ada halangan dan aku tidak bisa menjadi dokter hewan seperti cita-citaku. Jualan seperti ini juga membuatku sadar mencari uang itu tidak gampang. Jadi, sekarang aku semakin hemat dan tidak menghambur-hamburkan uang.”
Rasti jadi malu sendiri, teringat bagaimana ia selalu merengek pada mamanya bila uang sakunya habis, padahal ia ingin membeli sesuatu. “Apa orang tuamu tahu kamu berjualan kue?” ujar Rasti. “Apa mereka mengijinkan?”
“Tentu saja. Mama tahu kalau aku senang membuat kue, dan sangat mendukung usahaku ini. Syaratnya satu, aku tidak boleh lupa belajar, karena sekolah tetap nomor satu.” Rasti mengangguk setuju.
“Lalu kenapa kamu memilih berjualan kue, Win ? Bukan baju atau barang-barang lainnya. ”
“Sebenarnya ide berjualan ini muncul karena aku hobi membuat kue. Sayangnya, di rumah tidak ada orang yang menghabiskan kue-kue buatanku. Jadi, aku putuskan untuk menjual kue-kue itu. Aku jadi dapat dua keuntungan deh. Pertama, aku tetap bisa mengerjakan hobiku membuat kue. Dan yang kedua, aku bisa dapat uang tambahan dari hobiku itu,” urai Winda panjang lebar.
“Enak dong, hobi jalan terus, dapat uang lagi!”
Winda tersenyum. “Kamu juga bisa kok, Ras. Asal jangan jualan kue juga. Bisa-bisa kueku tidak laku lagi gara-gara ada saingan!”
Rasti tertawa juga. Di persimpangan jalan, mereka berpisah.
“Sampai besok ya, Ras!”
Rasti tersenyum. Ia mengagumi pemikiran Winda yang dewasa, dan tindakannya yang berani. Aku perlu meniru sikap baiknya, pikir Rasti.