Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti mengenal Perjanjian Linggarjati. Setidaknya mengingat sebagai salah satu poin yang selalu diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Ya, Perjanjian Linggarjati merupakan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda yang ngotot ingin kembali menguasai kawasan Hindia Belanda usai Perang Dunia II. Perjanjian ini dilaksanakan dari tanggal 10 sampai 13 Nopember 1946, dan dilakukan di sebuah gedung bekas hotel di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Gedung ini akhirnya difungsikan sebagai museum oleh pemerintah Belanda, karena gedung ini berhasil membuahkan pengakuan secara de facto eksistensi Republik Indonesia dengan kekuasaan meliputi Pulau Jawa, Madura dan Sumatra.
Gedung ini pertama kali dibangun oleh Tuan Mergen sekitar tahun 1921. Tuan Mergen adalah pemilik pabrik gula Tersana Baru di daerah Cirebon. Setelah menikah dengan wanita bernama Jasitem, konon ia kemudian membangun rumah peristirahatan semi permanen di Desa Linggarjati untuk istrinya.
Pada tahun 1930 rumah ini dibeli oleh keluarga Belanda Bernama Van Ost Dome yang kemudian merombak bangunannya menjadi bangunan permanen. Setelah dibeli Van Ost Dome, pada thun 1935 rumah peristirahatan ini disewakan kepada Heiker, seorang Belanda yang kemudian memfungsikan rumah tersebut sebagai hotel dengan nama Hotel Rustoord. Usaha perhotelan ini cukup berkembang sampai kedatangan balatentara Jepang sekitar tahun 1942. Pada zaman pendudukan Jepang, Hotel Rustoord berganti nama menjadi Hotel Hokay Ryokan. Namun kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena mereka kalah pada Perang Dunia II dan harus berkemas kembali ke negaranya. Oleh sebab itu, sejak 1945 Hotel Hokay Ryokan kemudian dinasionalisasi menjadi hotel merdeka. Ciri khas bangunan hotel ini masih nampak hingga saat ini, misalnya pembagian ruangan, kamar, serta ruang pertemuan yang masih mirip dengan hotel jaman dulu.
Gedung ini akhirnya dipilih untuk menjadi tempat perundingan adalah berkat usulan seorang Menteri Sosial. Menurutnya, lokasi gedung tersebut cukup kondusif untuk melakukan perundingan dan cukup dekat jaraknya dengan Jakarta, sehingga memudahkan transportasi Presiden dan Wakilnya menuju gedung ini. Dan usulan ini pun disetujui.
Setealah sempat menjadi lokasi perundinganpenting, gedung ini pernah juga difungsikan sebagai markas militer Belanda pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II. Lalu gedung ini pun pernah difungsikan sebagai gedung Sekolah Dasar Negeri Linggarjati, sekitar tahun 1970 sampai 1975. Pada saat difungsikan sebagai sekolah, kondisi gedung makin tidak terawat, hingga akhirny gedung ini diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum pada tahun 1976. Pemerintah menetapkan gedung ini sebagai salah satu bagunan cagar budaya yang dilindungi.
Gedung Linggarjati berdiri di atas lahan seluas 2,4 hektar. Lingkungannya yang sejuk dan tidak terlalu ramai membuat para pengunjung merasa betah untuk berlama-lama di tempat ini. Memasuki Gedung Linggarjati disambut oleh penjaga museum. Setiap pengunjung diharuskan mengisi buku tamu sebagai tanda bukti kunjungan. Dan disarankan untuk memberikan sumbangan sukarela dengan memasukkan uang ke dalam kotak sumbangan.
Gedung Linggarjati terdiri dari beberapa ruangan, tiap ruangan dilengkapi dengan perabotan selayaknya rumah peristirahatan. Di ruang tengah, misalnya dipamerkan berbagai foto yang berkaitan dengan Perjanjian Linggarjati. Di ruangan ini juga ditampilkan semacam diorama yang menggambarkan proses perundingan, lengkap dengan meja-kursi dan patung para delegsi perundingan. Pengunjung dapat pula melihat papan berukuran cukup besar yng berisi pasal-pasal hasil kesepakatan Perundingan Linggarjati.